Hari suci adalah hari yang diperingati atau diistimewakan, berdasarkan keyakinan bahwa hari itu mempunyai makna dan fungsi yang penting bagi kehidupan seorang atau masyarakat baik karna pengaruhnya, maupun karna nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Berdasarkan kitab suci maupun pengalaman tradisional, hari itu memberikan pengaruh terhadap kehidupan tingkat kesadaran manusia itu sendiri yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Pada hakekatnya semua agama memiliki hari suci atau hari – hari besar keagamaan. Demikian pula agama Hindu banyak sekali mempunyai hari-hari suci keagamaan, seperti hari raya nyepi, galungan, kuningan, saraswati, siwaratri, dan yang lainya. Hari -hari suci bagi umat hindu merupakan hari yang sangat baik untuk melakukan pemjaan kehadapan Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa, beserta segala manifestasi-Nya. Oleh karena itu pada hari tersebut merupakan hari yang baik untuk melaksanakan yadnya.
Untuk menentukan hari-hari suci didasarkan atas perhitungan wewaran, pawukon, tanggal panglong, dan sasih. Hal ini banyak dijelaskan dalam wariga, yaitu pedoman untuk menccari ala-ayuning (baik-buruk) hari atau dewasa.
Hari suci disebut pula dengan istilah Hari Raya karena hari tersebut diperingati dan dirayakan dengan acara khusus dan istimewa oleh umat Hindu dengan penuh khidmat. hari suci di Bali disebut “Rahinan”.
Hari Raya keagamaan bagi umat Hindu dibedakan menjadi dua macam yaitu:
Berdasarkan atas perhitungan sasih (Pranata Masa), seperti hari raya Nyepi dan hari raya Siwalatri.Berdasarkan
Kemudian secara mengkhusus ada lagi hari raya keagamaan yang berdasarkan Pawukon (Wuku) yang dibedakan menjadi empat kelompok besar diantaranya:
Buddha KliwonTumpek Buddha Wage/ Buddha Cemeng Anggara Kasih
Untuk memahami rangkaian pelaksanaan hari suci, terlebih dahulu harus mengetahui dan hafal dengan nama – nama Sasih dalam tahun Saka, hafal nama – nama Wewaran dan nama – nama wuku.
Di dalam ajaran Acara Agama Hindu, memiliki beberapa hari suci Tumpek yang memiliki fungsi dan makna berbeda – beda pada setiap hari tumpek. Mengenai makna dari hari raya suci Tumpek, dapat penulis menjelaskan berdasarkan kosa kata “Tumpek” berasal dari kata “Tampa” yang artinya turun (kamus jawa kuna Indonesia), kata tampa mendapat sisipan Um, menjadilah kata “Tumampa”. Dari kata tumampa mengalami perubahan konsonan, menjadi kata “Tumampak” yang artinya berpijak, kemudian mengalami perubahan menjadi kata keterangan keadaan sehingga menjadi kata “Tumampek” yang mengandung arti dekat. Kemudian kata Tumampek mengalami persenyawaan huruf “M”, sehingga menjadi kata “Tumpek”. Dengan demikian hari suci tumpek adalah mengandung penegrtian dan makna bahwa pada hari suci Tumpek merupakan hari peringatan turunnya kekuatan manifestasi Sang Hyang Widhi ke dunia.
Hari raya Tumpek Landep adalah hari yang dikhususkan untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dalam wujudnya sebagai Dewa Senjata ( Pasupati ). Tumpek Landep diperingati saat Saniscara Kliwon wuku Landep setiap 6 bulan sekali. Pelaksanaan upacara Tumpek Landep dilaksanakan di Bali karena mengandung hakekat dan makna yang tinggi dan sangat berhubungan dengan kehidupan manusia di dunia terutama mengenai intelegensi manusia, karena manusia itu sendiri adalah termasuk makhluk religious yang selalu berhubungan dengan kekuatan supra natural.
Dari kata Landep sendiri mengandung pengertian Tajam atau ketajaman. Tumpek Landep adalah ungkapan rasa terima kasih umat Hindu khususnya di Bali terhadap Sang Hyang Widi Wasa yang turun ke dunia dan memberikan ketajaman pemikiran kepada manusia. Adapun ketajaman itu layaknya senjata yang berbentuk lancip/runcing seperti keris, tombak dan pedang.
Dalam pengertian lain bahan logam seperti besi, perak, perunggu tersebut sudah banyak membantu dan mempermudah pekerjaan manusia dalam kehidupan sehari hari. Hari raya Tumpek Landep sendiri adalah rangkaian dari hari raya yang lain dan bila diurutkan akan seperti ini : hari raya Galungan, hari raya Kuningan, hari raya Saraswati dan hari raya Siwaratri dan hari raya Tumpek Landep itu sendiri. Dalam perayaan Tumpek Landep sendiri bisa dilakukan di rumah dan pura dengan cara mengumpulkan benda benda pusaka atau benda yang terbuat dari logam, upacara ini dilakukan dari pagi hingga sore hari.
Upacara ini terus dilakukan secara turun temurun sampai saat ini, dimana pada masa sekarang tidak hanya senjata yang terbuat dari besi namun barang/alat lain yang mengandung unsur besi atau benda dapat bergerak terbuat dari logam seperti (sepeda motor, mobil) alat rumah tangga dan lain lain yang ikut diupacarakan diberikan hiasan khusus dari janur yang di sebut tamian.Saat upacara berlangsung benda-benda yang terbuat atau mempunyai unsur logam ini diberikan sesajen agar dapat mempermudah dan memperlancar kegiatan manusia untuk menjalani kehidupan.
Bali ialah suatu daerah yang kental sekali perpaduan unsur budaya, adat istiadat, maupun kepercayaan, sehingga ketika Anda datang ke Bali bukan hanya bisa menyaksikan berbagai keindahan alam yang mewujud dalam pantai, laut, gunung, lembah, sungai, namun juga keunikan dan kekhasan lainnya dari masyarakat yang ada disini. Salah satunya, kalau bertepatan waktunya, Anda bisa menyaksikan upacara pada Hari Raya Tumpek Landep ini. (Sudarsana,2003:15)
Makna hari suci Tumpek Landep dapat dijelaskan sebagai berikut berdasarkan pada sumber – sumber sastra Agama Hindu serta dari makna yang terkandung didalam sebutan Pasupati. Kata Pasupati berasal dari kata “Pasu” dan “Pati” kemudian kata pasu dapat diartikan “Sato” dan untuk mendapatkan maknanya maka kata Sato dapat dihubungkan dengan Tattwa, menjadilah kata “Sattwa”. Sedangkan kata sattwa berasal dari suku kata “Sat” dan “Twa”,dengan demikian kata Sat dapat diartikan “Inti” sedangkan suku kata Twa dapat diartikan “Kebenaran”.
Demikian juga kata Pati dapat diartikan “Sumber” oleh karena itu maksud dari kata pasupati adalah “kekuatan yang timbul, tetap bersumber pada kebenaran”. Pada pelaksanaan upacara Tumpek Landep juga mempergunakan sarana Uparengga (simbul suci) yang bersifat tajam yaitu sebilah “senjata keris” karena keris ini memiliki tiga buah mata pisau yaitu pada :
Rai keris sebelah kanan sebagai nyasa simbol kekuatan Hyang Brahma memiliki kekuatan “Sakti”.Rai keris sebelah kiri sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu memiliki kekuatan “Sidi”.Pada ujung keris adalah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Siwa memiliki kekuatan “Mandhi”.
Dari ketiga kekuatan tadi tidak hanya bersifat spiritual saja namun juga bersifat nyata, seperti kata “Sidhi” juga dapat diartika “Sidha” yang maksudnya kebersihan, sedangkan kata “Sakti” dapat diartikan “Sakta” yang dimaksudkan ada, dan kata “Mandhi” dapat diartikan “Mandha” yang maksudnya selalu mengalir. Dengan demikian segala bentuk anugrah dari Sang Hyang Widhi kedunia selalu bersifat “Wahya” dan “Diatmika” (sekala niskala), agar tetap terjaganya keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara dunia dan akhirat. Adapun sarana dan prasarana dalam Tumpek Landep yaitu :
Upakara munggah di kemulan Pejati lengkap asoroh Tumpeng abang 2 bungkul lengkap dengan rerasmen, dengan sampian tumpeng, penyeneng semuanya memakai sarana daun endong bang. Canang pesucian Upakara ayaban sinestane mempergunakan tumpeng 5 bungkul Banten sesayut pasupati Banten prayascita Bayekawonan Segehan abang 1 tanding.
Dalam hubungannya dengan pelaksanaan ajaran Agama Hindu, kata ācāra sering diberi awalan upa, yang bermakna sekitar sehingga kata upācāra bermakna sekitar tata cara pelaksanaan Agama Hindu. Dengan demikian ācāra agama Hindu menyangkut persoalan sekitar tempat upacara (lokasi), saat upacara (durasi), suasana upacara (situasi), rangkaian upacara (prosesi), ucapan upacara (resitasi), alat upacara (sakramen), dan bunyi-bunyian upacara (instrumen). Akan tetapi dalam pelaksanaannya upācāra agama Hindu terkadang menunjukkan adanya perbedaan di berbagai daerah sesuai dengan sima atau drsta-nya masing-masing.
Acara dalam maknanya sebagai kebiasaan memang memiliki arti yang kurang lebih sama dengan kata ”drsta”. Drsta berasal dari urat kata Sansekerta ”drs” yang berarti memandang atau melihat. Kemudian, kata ”drsta” memiliki makna konotatif yang sama dengan tradisi (Sudharma, 2000). Acara atau Drsta dibagi menjadi 5 (lima), yaitu :
sastra drsta berarti tradisi yang bersumber pada pustaka suci atau sastra agama Hindu;desa drsta berarti tradisi agama yang berlaku dalam suatu wilayah tertentu;loka drsta adalah tradisi agama yang berlaku secara umum dalam suatu wilayah;kuna/purwa drsta berarti tradisi agama yang bersifat turun-temurun dan diikuti secara terus menerus sejak lama; dankula drsta adalah tradisi agama yang berlaku dalam keluarga tertentu saja
Perbedaan pelaksanaan ācāra agama karena perbedaan drsta ini hendaknya tidak menjadi masalah, tetapi sebaliknya menjadi kekuatan Hindu untuk menumbuh-kembangkan lokal jenius di setiap daerah sehingga Hindu dapat tampil dengan karakter lokal yang unik dan khas.
Berkenaan dengan pelaksanaan upacara Tumpek Landep menurut isi lontar Sundarigama di atas maka upacara ini difokuskan pada pemujaan Bhatara Siwa dalam manifestasi-Nya sebagai Sanghyang Pasupati. Adapun tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut.
Di Sanggar Pamujan atau Sanggah/Merajan dihaturkan tumpeng putih selengkapnya, lauknya ikannya ayam, grih trasibang (ikan asin dan terasi merah), sedah, dan woh (buah-buahan). Banten ini dipersembahkan kepada Bhatara Siwa. Dengan pangastawa-nya sebagai berikut:
Om Namah Siwaya sarwaya
Dewa-dewa ya wai namah
Rudraya bhuwanesaya
Siwa rupaya wai namah
Pada sarana yang akan diupacarai (senjata, alat-alat dari besi, mobil, motor, dan sebagainya) dihaturkan sesayut jayeng prang, sesayut kusuma yudha, suci, daksina, peras, dan canang wangi-wangi. Babantenan ini di-ayab-kan kepada semua sarana tadi dengan puja astawa dipersembahkan kepada Sanghyang Pasupati. Adapun pangastawa-nya sebagai berikut:
Om Namaste Bhagawan Wisno
Namaste Bhagawan Hare
Namaste Bhagawan Krsna
Jagat raksa namostute
(Pasupati Stawa dikutip dari Pudharta, 2008:10)
Dalam praktik keberagamaan Hindu nusantara yang tidak saja berasal dari etnis Bali maka tata cara pelaksanaan Tumpek Landep dapat disesuaikan dengan kebudayaan daerah masing-masing. Tradisi Jawa (kejawen) misalnya, juga mengenal ritual membersihkan senjata pusaka seperti keris, tumbak, dan pedang pada tanggal 1 Suro. Di keraton Yogyakarta (Ngayogyakarta Hadiningrat) upacara ini dilaksanakan secara besar-besaran dengan gelaran acara “Kirab Pusaka Kraton”. Ini menunjukkan bahwa tradisi yang sejenis dengan Tumpek Landep sangat mungkin ditemukan dalam berbagai tradisi lokal. Oleh karena itu, akan lebih baik jika tradisi lokal tersebut tetap dilanjutkan serta memadukannya dengan sentuhan khas Hinduisme sehingga tradisi ini melekat dalam sanubari umat Hindu di seluruh Indonesia.
Pertama – tama ngunggahang upakaranya dikemulan rong tengah, sedangkan pada rong yang lainnya boleh mempergunakan banten soda atau canang sari.
Pada rong tengah dari kemulan, ngunggahang toya (air) berisi asaban cendana, majagau dan menyan serta berisi base tubungan 1 buah.Kemudian mengambil sebilah keris atau tombak (memiliki tiga mata pisau) sebagai simbol. Keris atau tombak tersebut dibersihkan dengan minyak wangi, kemudian diletakkan pada banten sesayut pasupati yang sudah tertata.Pemimpin upacara menyiapkan diri untuk nganteb upakara tersebut, dimulai dengan tirta pembersihan.Pemimpin upacara memulai melaksanakan pengutpeti, stiti melalui pengastawanya.Pengastawa kehadapan Hyang Siwa Raditya (idem).Pengastawa kehadapan Sang Hyang Tri Murti.
Mantra :
Ong, Dewa Dewa Tri Dewanam
Tri Murti Tri Linggadmanam
Tri Pusura Sudha Nityam
Sarwa Jagat Pranamyanam
Ong, Hrang Hring Syah Tri Murti
Yenamah Swaha
Pengastawa kehadapan Sang Hyang Pasupati
Mantra :
Om Sanghyang Pasupati Ang-Ung Mang ya namah svaha
Om Brahma astra pasupati, Visnu astra pasupati, Siva astra pasupati, Om ya namah svaha
Om Sanghyang Surya Chandra tumurun maring Sanghyang Aji Sarasvati-tumurun maring Sanghyang Gana, angawe pasupati maha sakti, angawe pasupati maha siddhi, angawe pasupati maha suci, angawe pangurip maha sakti, angawe pangurip maha siddhi, angawe pangurip maha suci, angurip sahananing raja karya teka urip, teka urip, teka urip.
Om Sanghyang Akasa Pertivi pasupati, angurip keris,
Om eka vastu avighnam svaha
Om Sang-Bang-Tang-Ang-Ing-Nang-Mang-Sing-Wang-Yang-Ang-Ung-Mang
Om Brahma pasupati
Om Visnu Pasupati
Om Siva sampurna ya namah svaha
Sesonteng :
Sang tabeya Namasiwa ya, pukulun paduka Bethara Sang Hyang Siwa Raditya, Sang Hyang Ulan Lintang Tranggana meraga Sang Hyang Triodasa Saksi, Sang Hyang Tri Murti, mekadi Sang Hyang Pasupati, saksinin pangubhaktin pinakengulun, angaturaken tadah saji pawitra seprakaning saji pasupati asung kertha nugraha Bethara anugraha ripinakangulun, kesidhian, kesaktian, kemandian, manut ring swadharmaningulun nanging akedikulun angaturaken, agung pinakengulun amelaku, mangda tan keneng kecampahan, cakrabhawa, tulahpamidi de paduka Bethara kinabehan. Ong sidhirastu pujaningulun.
Sesudah itu ngaturang pesucian dengan memercikkan tirta prayascita, bayekawonan, pesuciannya, dan penyeneng, kea rah bangunan suci kemulan dan kepada senjata keris.Selanjutnya mengucapkan mantra pebhuktyan.Kemudian Sang Penganteb memimpin persebahyangan bersama, sampai selesai metirtha, memakai bija, maka selesailah sudah pelaksanaan dari upacara Tumpek Landep.
Secara konsepsi dalam buku Hari Raya tumpek yang dipuja pada hari Tumpek Landep adalah Sanghyang Pasupati. Selain itu, Tumpek Landep juga sebagai pujawali Batara Siwa yang berfungsi melebur atau mamralina. Tumpek Landep merupakan hari peringatan untuk memohon keselamatan ke hadapan Hyang Widi Wasa dalam Manifestasinya sebagai Dewa Senjata atau peralatan yang dibuat dari besi, logam, perak, emas dan sejenisya yang dipergunakan oleh manusia dalam kehidupan.
Dalam perkembangan jaman sekarang ini banyak ditemui upacara yang dibesar-besarkan terutama terhadap motor dan mobilnya.
Landep Siapa yang wetonan?
Datangnya Tumpek Landep seperti hari ini, banyak orang pulang kampung. Niatnya bukan untuk bersembahyang di pura, tetapi mengadakan upacara otonan atau wetonan. Siapa yang wetonan? Ternyata mobilnya atau sepeda motornya. Sampai-sampai upacara terhadap motor dan mobilnya di unggah di facebook/ media. Merk mobil mewah dipajang sedemikian rupa, sehingga yang tidak memiliki sedikit ada rada minder.
Tentu saja ini wetonan yang salah kaprah. Wetonan itu sebenarnya hanya bagi manusia yaitu peringatan untuk suatu kelahiran. Namun, wetonan motor, mobil sudah menjadi sebutan yang lumrah saat ini.
Kenapa harus pulang ke desa? Kalau niatnya cuma wetonan motor, mobil di Pasar Badung atau Pasar Sanglah, banten ini sudah bisa dibeli secara lengkap, meskipun ada kurang-kurangnya kalau mengetahui soal banten. Tapi orang lebih sreg untuk pulang ke kampungnya. Motor dan mobil dicuci bersih, kemudian diselimuti kain, diberi gegantungan, lalu diupacarai. Mobil juga diupacarai seperti itu, lihat saja hari ini di pinggir-pinggir jalan, banyak yang melakukannya.
Berapa banyakkah orang yang tahu, bagaimana menghaturkan puja ketika mengupacarai motor atau mobil itu??? Tidak banyak. Itu yang membuat banyak anak-anak muda pulang ke kampungnya, karena tidak tahu harus berbuat apa untuk sepeda motornya. Jika ia tak sempat pulang, justru ia bingung: "Wah, Tumpek Landep, tak bisa pulang, beli banten bisa, tapi Dewa apa yang ada di motor itu?"
Asal-usul kenapa motor dan mobil sampai punya wetonan, berawal dari adanya komponen besi di dalamnya. Tumpek Landep selalu dikaitkan dengan mengupacarai segala benda yang terbuat dari besi. Padahal yang dimaksudkan besi itu terbatas pada persenjataan, dan itu pun yang dianggap bertuah dan keramat. Misalnya, keris, tombak, pedang, dan segala logam yang berfungsi sebagai pratima (benda suci) di pura. Belakangan, segala perabotan dari besi ikut diupacarai, seperti pahat, pisau, gergaji dan sebagainya. Di banyak tempat, para pengukir tak mau bekerja pada Tumpek Landep karena peralatan kerjanya masih diupacarai
Kebiasaan ini yang kemudian berkembang lebih jauh lagi. Sepeda motor, mobil, lalu menyusul peralatan kerja yang mengandung logam besi seperti alat-alat percetakan, komputer, dan sebagainya, ikut diberi sesajen. Bahkan banyak perusahaan yang bergerak di bidang percetakan melakukan piodalan pada saat Tumpek Landep.
Jika awalnya yang diupacarai benda sakral berunsur besi, tentu tak ada yang salah kaprah. Tetapi kesalah-kaprahan itu berkembang karena semua unsur logam besi harus diupacarai, termasuk televisi, mesin cuci dan sebagainya. Padahal sejatinya, hari ini yang dipuja adalah Hyang Pasupati yang menajamkan kecerdasan berpikir manusia setelah menerima ilmu pada Hari Saraswati dan sudah membentengi ilmu itu pada hari Pagerwesi. Pada Tumpek Landep inilah ilmu yang sudah diasah itu di-“pasupati” (dimohon kekuatan rohani).
Urutannya begini. Hari Saraswati memuja Dewa Brahma memohon agar Dewi Saraswati (sakti Beliau) menurunkan ilmunya ke dunia. Keesokan harinya, melakukan pembersihan rohani agar bisa menyerap ilmu itu dengan baik, yang disebut banyu pinaruh. Kitab Weda menyiratkan, dalam menimba ilmu harus dilakukan penyucian diri dengan asuci laksana. Bila badan dan pikiran suci, maka ilmu itu akan mampu merasuk ke dalam hati dengan baik.
Esoknya hari Senin disebut Somaribek, adalah proses pembelajaran. Esoknya lagi hari Selasa disebut Sabuhmas adalah hari untuk menghimpun (menabung) semua ilmu yang diperoleh. Kalau ilmu pengetahuan sudah cukup ditabung, maka resapi ilmu itu untuk benteng kehidupan pada hari Pagerwesi. Nah, hari-hari selanjutnya selama sepuluh hari adalah memproses ilmu yang diperoleh, dan pada saatnya kemudian, yakni pada Tumpek Landep, orang yang telah memperoleh ilmu melakukan pewintenan, alias wisuda untuk bahasa moderennya. Memohon kepada Hyang Pasupati, supaya mempunyai ketajaman pikiran bagaikan keris dan tombak. Karena itu sesajen penting dalam Tumpek Landep selain pengeresikan (byakala, durmanggala, prayascita dan pengambean) adalah sesayut pasupati, sesayut jayeng perang, sesayut kusuma yudha.
Memang tidak ada yang salah menghaturkan sesajen di depan keris, tombak, mobil, televisi, komputer dan sebagainya. Semua itu posisikan sebagai “peralatan kerja”, karena itu sebaiknya hanya diberi sesajen dan diperciki tirtha. Bukan sembahyang di depan mobil, yang bisa menimbulkan salah paham, dikira “memuja mobil”. Justru yang lebih penting adalah diri sendirilah yang "diupacarai" di merajan atau pura, memuja Hyang Pasupati agar diberi kekuatan rohani, jadi bukan sembahyang di depan mobil. Tidak ada yang wetonan hari ini, yang ada mohon “kekuatan rohani” dan mensyukuri “peralatan kerja” yang kita punya seperti motor, mobil dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsana, Drs.I.B.Putu.2003. Ajaran Agama Hindu Acara Agama. Denpasar: Yayasan Dharma Acarya